Halaman

Senin, 22 Februari 2016


ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN
“ FILM TEMPLE GRANDIN



 
NAMA         : ROMI RAHMA ANISA
NO. REG      : 7526150418
KELAS        : DIKDAS NR – B
DOSEN        : Dr. RIANA BAGASKOROWATI


    

PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


BAB I
PENDAHULUAN
Film berjudul Temple Grandin adalah sebuah biopik dari Temple Grandin sendiri. Temple Grandin, lahir tahun 1947, adalah seorang penyandang autis. Sekarang dia adalah professor di Colorado State University dan sering menjadi pembicara tentang autisme dan juga penanganan peternakan sapi potong. Dia juga banyak menulis buku tentang cara berpikir penyandang autis juga tentang perilaku hewan ternak.
Film ini menceritakan perjuangan hidupnya yang sungguh mengesankan. Di masa kecil, orang tua Temple sendiri tidak mengerti mengapa Temple menyandang autis. Temple baru bisa berbicara di usia 4 tahun. Namun, orang tua Temple percaya anaknya memiliki otak yang cerdas dan itu memang terbukti.
Di film ini, masa kecil Temple tidak terlalu diceritakan. Cerita dimulai dari masa-masa sekolah Temple di Hampshire Country School, sekolah untuk gifted children. Di sekolah itu diceritakan Temple yang sangat menyukai sains dan juga menggemari hewan-hewan ternak seperti kuda dan sapi. Temple dekat dengan Dr. Carlock, guru sainsnya. Dia juga senang sekali berada di dekat kuda dan sapi, Temple merasa bisa merasakan apa yang dirasakan hewan dan tidak dimengerti orang-orang lainnya. 
Menurut Dr. Carlock, Temple mempunyai kemampuan visual yang hebat, dia berpikir dengan memvisualisasikan apa yang dirasakannya. Itu sebabnya dia agak kesusahan mempelajari pelajaran bahasa dan aljabar. Di film itu digambarkan bahwa Temple sangat jago mendesain sekaligus membuat berbagai peralatan mekanis. Temple Grandin adalah seorang visual thinker yang hebat.
Seperti tagline film ini: “Autism gave her a vision, she gave it a voice”, autisme benar-benar membuat Temple memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang pada umumnya dan dia memiliki keberanian untuk terus belajar dan mencoba. Ibunya selalu bilang bahwa Temple itu berbeda, tapi tidak berkekurangan. Dr. Carlock setuju dengan pernyataan itu, Temple pun dibesarkan dengan pemikiran bahwa dia berbeda, tidak berkekurangan, tidak cacat.
“I am different, not less.”

BAB II
ISI
Awal film ini dikisahkan dimana Temple pergi kerumah bibinya disebuah peternakan. Temple banyak belajar dari apa yang ada disekelilingnya, termasuk sapi yang ada dipeternakan tersebut. Dia juga belajar bagaimana sapi – sapi diperlakukan. Suatu ketika ia terheran – heran saat melihat sapi yang dipaksa masuk kesebuah alat yang cara kerjanya adalah dengan menekan / menjepit bagian tubuh sapi tersebut dan Temple pun bertanya mengenai apa yang sedang dilakukan para gembala sapi tersebut. Merekapun menjelaskan bahwa alat itu dibuat untuk menenangkan sapi dari rasa stress. Suatu ketika Temple mengalami stress yang cukup tinggi akibat kamar miliknya “dirasa” bukan miliknya lagi dan tampak ada yang aneh yang membuatnya takut bukan main. Lalu dia teringat akan alat penurun stress yang dipakai untuk sapi tadi, diapun langsung berlari dan meminta bibinya untuk menjepitnya dengan alat itu dan ajaibnya Temple merasa stress-nya berkurang.
Ibunya yang datang kepeternakan mengajak Temple untuk kembali bersekolah. Pada tahun 1966 ia masuk ke Universitas disini ia mengalami rasa gugup yang sangat luar biasa yang membuatnya depresi, hal ini diakibatkan ia belum benar – benar siap beradaptasi dengan lingkungan asrama itu. Ibunya yang mengetahui hal itu hanya bisa membiarkannya dengan maksud agar Temple mampu mengatasi proses adaptasinya tersebut. Lalu Ibunya teringat pada masa kanak – kanak Temple, dimana Temple kurang bisa fokus dan mudah marah. Sejak usia 4 tahun Temple memang sudah divonis mengidap autis. Selain tidak fokus dan mudah marah Temple juga menghindari sentuhan dengan orang lain.
Dokter yang telah memvonis Autisme yang dirasakan Temple menyarankan agar Temple dimasukan ke tempat khusus, namun ibunya tak menghiraukan dan memutuskan membesarkannya dengan cara yang sama dengan anak normal lainnya dan menyewa seorang pelatih bicara untuk Temple.
Di universitas Temple membuat alat yang serupa dengan alat penenang yang ada di peternakan bibinya. Ini dia lakukan karena dia masih sering mengalami stress, namun setelah mengetahui hal tersebut, pihak universitas melarang keberadaan alat itu karena dianggap sebagai alat pemuas seks. Namun Temple tak tinggal diam, diapun pergi kerumah bibinya lalu memintanya berbicara pada pihak universitas mengenai spesifikasi dan kegunaan alat itu dan Temple pun menjelaskan dengan cara ilmiah kegunaan dan cara kerja alat itu dalam menurunkan stress. Pada akhirnya pihak universitas-pun mengizinkan penggunaan alat itu dan Temple juga tak ragu untuk meminta teman – temannya memakai alat itu untuk menunjukan bahwa alat itu juga bekerja sama baiknya pada orang normal dalam menurunkan stress.
Sebelumnya Temple baru saja dikeluarkan dari universitas lain karena dia memukul kawannya. Dari banyak pengajarnya hanya satu orang yang benar – benar memahami potensi Temple, dia adalah Dr. Carlock yang kemudian memotivasi Temple agar mau meneruskan kuliahnya. Dan Dr. Carlock juga selalu mengajarkan pada Temple agar mau menemukan “pintu” baru sebagai bentuk penjelajahannya di dunia yang baru. Pada akhirnya Temple lulus dari universitas dan bekerja di peternakan. Dia juga menyanyikan lagu “You’ll never walk alone” untuk menggambarkan bagaimana ia memotivasi dirinya dan orang lain, bahwa semua orang tak akan pernah sendiri saat mengarungi hidup ini. Ia berhasil menciptakan sebuah alat yang mirip dengan alat penenang sapi yang dulu namaun dengan beberapa instrument tambahan. Dia juga membuat sebuah track untuk sapi – sapi yang bentuknya mirip dengan pola jalan sapi pada kondisi alamiah seekor sapi. Dia juga berhasil menemukan cara membunuh sapi ternaknya dengan cara yang lebih halus / manusiawi.
Dalam sebuah kesempatan Temple diminta berbicara disebuah konvensi autism, dia menceritakan bagaimana ia mengatasi permasalahannya sebagai seorang autis dan mencapai pendidikan akademik sebaggaimana layaknya orang normal. Dia juga menceritakan bagaimana ibunya mereawat dan mendidiknya. Semua orang yang hadir disana sangat terkesan dengan pengalaman Temple.
- Temple Grandin
Perjuangannya besarnya ketika menyelesaikan kuliahnya adalah mendesain sistem peternakan yang lebih baik dan efisien. Temple sangat menyayangi sapi-sapi ternak. Di peternakan memang ujung-ujungnya sapi akan di bunuh untuk di konsumsi manusia, tapi ada proses panjang untuk itu, seperti penggiringan dan perendaman. Di proses itulah Temple merasa peternakan-peternakan yang ada saat itu tidak memiliki sistem yang bagus dan malah menyiksa sapi. Padahal hal tersebut berbuntut pada kerugian perusahaan peternakan, tidak jarang ada sapi yang mati saat proses perendaman dan itu sangat merugikan.
“I think using animals for food is an ethical thing to do, but we’ve got to do it right. We’ve got to give those animals a decent life and we’ve got to give them a painless death. We owe the animal respect.”
 Temple Grandin
Temple pun berjuang untuk meneliti tentang perilaku sapi, lenguhan sapi dan mendesain proses perisapan penjagalan yang lebih baik. Tidak jarang dia di ejek dan di tertawakan akan rencana penelitiannya itu. Apalagi dengan autistiknya, orang seringkali memandang rendah. Tapi dia berhasil membuktikan dengan membuat berbagai tulisan ilmiah yang dimuat di berbagai majalah seputar dunia peternakan. Dengan kemampuan berpikir visualnya dia berhasil mendesain sistem penggiringan sapi ke penjagalan yang lebih efisien.
Menurut saya Temple Grandin memang seorang penyandang autis yang gagah.  Autis bukanlah penyakit, jadi tidak layak kita menyebut “penderita”. Di akhir film itu juga diceritakan awal mula Temple menjadi pembicara tentang autis, dia berada di sebuah konvensi tentang autis bersama ibunya. Saat itu sang pembicara berbicara tentang penanganan autis. Tiba-tiba saja Temple dari bangku penonton berdiri dan menyatakan apa yang dia rasakan tentang autis.  Beberapa orang mengira dia orang tua anak autis, padahal tidak, dia menjelaskan dia adalah penyandang autis yang beruntung mendapat kesempatan untuk sekolah dan juga kuliah, saat itu dia sudah mendapat gelar Master of Science-nya. Orang-orang pun kaget dan memintanya untuk berbicara di depan.
Yang gagah adalah kalimat-kalimat ini:
“Well, I am not cured, I’ll always be autistic. My mother refused to believe that I wouldn’t speak. And when I learned to speak, she made me go to school.”
“I mean, they knew I was different, but not less. You know, I had a gift. I could see the world in a new way. I could see details that other people were blind to”.
Film ini benar-benar keren, memberi pelajaran, dan juga menambah pengetahuanku tentang autis. Ada unsur edukasi yang penting juga di film ini, seringkali sistem pendidikan kita menyamakan setiap murid, tidak mau mengakui bahwa setiap orang memiliki cara berbeda dalam belajar.
Claire Danes memainkan peran sebagai Temple Grandin dengan sangat apik di film ini, pasti susah sekali untuk memerankan dan mendapatkan emosi seorang penyandang autis. 
v  KETERKAITAN FILM TEMPLE GRANDIN DENGAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Kaitan hal-hal penting dari film dengan teori dalam psikologi kepribadian ; Adler menganggap bahwa manusia menghasilkan kesenian, ilmu pengetahuan, dan aspek-aspek lain dari kebudayaan adalah untuk mengimbangi kekurangan mereka sendiri.
Contoh dalam film. Dibalik kelemahan yg dimiliki oleh temple grandin dia memiliki kemampuan photographic memory yang luar biasa dan bisa menciptakan hasil karya yg luar biasa seperti rute jalan sapi menuju tempat pemotongan, merancang cara penanganan yang baik terhadap hewan ternak, dan masih banyak lagi hasil karyanya yang berhubungan dengan hewan maupun tidak.
Biografi Temple Grandin ; Dr Grandin adalah seorang desainer fasilitas penanganan ternak dan seorang Profesor Ilmu Hewan di Colorado State University. dia telah merancang cara penanganan yang baik terhadap hewan ternak yang berlokasi di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Meksiko, Australia, Selandia Baru dan negara-negara lain. Di Amerika Utara, hampir setengah dari ternak ditangani dalam sistem pusat jalur restrainer bahwa hewan ternak tersebut dirancang untuk binatang pedaging. Melengkung parasut dan ras sistem telah dirancang olehnya untuk ternak yang digunakan di seluruh dunia dan tulisan-tulisannya di zona penerbangan dan prinsip-prinsip lainnya perilaku penggembalaan hewan telah membantu banyak orang untuk mengurangi stres pada hewan ternak mereka selama masa penanganan.
Dia juga telah mengembangkan sistem penilaian yang obyektif untuk menilai penanganan sapi dan babi di pabrik daging. Sistem skoring sedang digunakan oleh banyak perusahaan besar untuk meningkatkan kesejahteraan hewan. Hal lain dari penelitian adalah: sapi temperamen, pengayaan lingkungan untuk babi, mengurangi pemotong gelap dan memar akibat perlakuan yang kasar dari para peternak, kesuburan banteng, prosedur pelatihan, dan metode menakjubkan efektif untuk sapi dan babi di pabrik daging.
Dia memperoleh gelar B.A-nya di Pierce College Frankin dan M.S Ilmu Hewan-nya di Arizona State University. Dr Grandin meraih gelar Ph.D Animal Science dari University of Illinois pada tahun 1989. Hari ini ia mengajar kursus pada perilaku ternak dan desain fasilitas penanganan hewan ternak di Colorado State University dan berkonsultasi dengan industri peternakan pada desain fasilitas penanganan ternak, dan kesejahteraan hewan. Dia telah muncul di acara televisi seperti 20/20, 48 Jam, CNN Larry King Live, PrimeTime Live, Tampilkan Hari ini, dan show dibanyak negara. Dia telah ditampilkan dalam People Magazine, New York Times, Forbes, US News and World Report, Time Magazine, New York Times bedah buku dan majalah Discover. Pada tahun 2010, Time Magazine nama salah satu surat kabar terkenal menyiarkan hasil Wawancara dengan Dr Grandin di National Public Radio. Dia juga menulis lebih dari 400 artikel di kedua jurnal ilmiah dan majalah penanganan hewan ternak, kesejahteraan, dan desain fasilitas. Dia adalah pengarang dari "Berpikir dalam Gambar", "Penanganan Ternak dan Transportasi," "Genetika dan Perilaku Hewan Domestik" dan " Penanganan Ternak Manusia." Buku-bukunya "Hewan in Translation" dan "Binatang Buat Kami Manusia" keduanya di New York Times terdaftar sebagai best seller. "Binatang Buat Kami Manusia" juga terdaftar sebagai penjualan terbaik di Kanada. Kisah hidup nya juga telah dibuat menjadi sebuah film HBO berjudul "Temple Grandin". Film ini menunjukkan hidupnya sebagai remaja dan bagaimana dia memulai karirnya.
Kaitan adegan dalam film dengan Teori Belajar Sosial-nya ; Theory Social Learning oleh Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain yang menjadi model.
Bandura menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Contoh dalam film = Temple Grandin meniru cara perternak menenangkan sapi dengan cara memberi tekanan di kedua sisi samping tubuh sapi. Kemudian Grandin menggunakan cara itu untuk diterapkan pada dirinya sendiri disaat dia tengah merasa panik.
Temple Grandin: "Mereka akan sangat tenang, Alam itu kejam tapi kita tidak perlu takut padanya. Tetapi pada saat itu, individu itu tenang dan. kemudian pergi. saya menyadari betapa berharganya kehidupan ini ."



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Temple Grandin adalah sebuah film yang menceritakan kehidupan seorang anak penyandang autis. Temple Grandin adalah tentang secercah harapan dalam hidup. Ia lahir di dalam sebuah dunia yang tak selalu memahami apa yang terjadi padanya. Bahkan oleh para ahli medis di zamannya, di tahun 1940 dan 1950-an, autisme masih dianggap sebagai gangguan mental dan pasiennya dirawat di rumah sakit jika.
Yang cukup bikin air mata berurai adalah ketika sang ibu, Eustacia, yang merupakan orangtua tunggal lulusan Universitas Harvard, tidak mau menelan mentah-mentah diagnosis itu.
Eustacia memutuskan untuk merawat dan membesarkan Temple seperti anak-anak lainnya, tentu saja dengan kepekaan yang sungguh luar biasa, yang dibutuhkan oleh Temple.
Di film ini diperlihatkan bagaimana seorang Temple memiliki kemampuan untuk mengukur ruang dan memotret secara visual dalam kepalanya dengan tepat dan rinci. Sampai pada akhirnya, seorang dosen memberikan sebuah tugas di bidang ilmu fisika yang ternyata dapat dipecahkan sendiri oleh Temple.
Dari kehidupan seorang Temple Grandin, kita tentu dapat menyimpulkan bahwa kekurangan yang dimiliki seseorang tidak semata-mata menjadi hal yang menghambat ia untuk dapat menjalani hidupnya. Temple Grandin di satu sisi merupakan orang yang sukses di bidangnya, namun ia sendiri menyadari bahwa di sisi lain ia memiliki banyak keterbatasan karena autisme yang dimilikinya. Pun demikian, ia memilih untuk terus berkarya. Seperti yang tertulis dalam tagline film Temple Grandin, “What made her different, makes her exceptional” – Yang menjadikannya berbeda, menjadikannya luar biasa.