ORIENTASI BARU DALAM PSIKOLOGI PENDIDIKAN
“ FILM TEMPLE GRANDIN “
|
NAMA :
ROMI RAHMA ANISA
NO. REG : 7526150418
KELAS : DIKDAS NR – B
DOSEN : Dr. RIANA BAGASKOROWATI
|
|
PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN DASAR
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Film berjudul Temple Grandin adalah sebuah biopik dari Temple Grandin
sendiri. Temple Grandin, lahir tahun 1947, adalah seorang penyandang autis.
Sekarang dia adalah professor di Colorado State University dan sering menjadi
pembicara tentang autisme dan juga penanganan peternakan sapi potong. Dia juga
banyak menulis buku tentang cara berpikir penyandang autis juga tentang
perilaku hewan ternak.
Film ini menceritakan perjuangan hidupnya yang sungguh mengesankan. Di masa
kecil, orang tua Temple sendiri tidak mengerti mengapa Temple menyandang autis.
Temple baru bisa berbicara di usia 4 tahun. Namun, orang tua Temple
percaya anaknya memiliki otak yang cerdas dan itu memang terbukti.
Di film ini, masa kecil Temple tidak terlalu diceritakan. Cerita dimulai
dari masa-masa sekolah Temple di Hampshire Country School, sekolah untuk gifted
children. Di sekolah itu diceritakan Temple yang sangat menyukai sains dan
juga menggemari hewan-hewan ternak seperti kuda dan sapi. Temple dekat dengan
Dr. Carlock, guru sainsnya. Dia juga senang sekali berada di dekat kuda dan
sapi, Temple merasa bisa merasakan apa yang dirasakan hewan dan tidak
dimengerti orang-orang lainnya.
Menurut Dr. Carlock, Temple mempunyai kemampuan visual yang hebat, dia
berpikir dengan memvisualisasikan apa yang dirasakannya. Itu sebabnya dia agak
kesusahan mempelajari pelajaran bahasa dan aljabar. Di film itu digambarkan
bahwa Temple sangat jago mendesain sekaligus membuat berbagai peralatan
mekanis. Temple Grandin adalah seorang visual thinker yang hebat.
Seperti tagline film ini: “Autism gave her a vision, she gave it a
voice”, autisme benar-benar membuat Temple memiliki cara pandang yang
berbeda dengan orang pada umumnya dan dia memiliki keberanian untuk terus
belajar dan mencoba. Ibunya selalu bilang bahwa Temple itu berbeda, tapi tidak
berkekurangan. Dr. Carlock setuju dengan pernyataan itu, Temple pun dibesarkan
dengan pemikiran bahwa dia berbeda, tidak berkekurangan, tidak cacat.
“I am
different, not less.”
BAB II
ISI
Awal
film ini dikisahkan dimana Temple pergi kerumah bibinya disebuah peternakan.
Temple banyak belajar dari apa yang ada disekelilingnya, termasuk sapi yang ada
dipeternakan tersebut. Dia juga belajar bagaimana sapi – sapi diperlakukan.
Suatu ketika ia terheran – heran saat melihat sapi yang dipaksa masuk kesebuah
alat yang cara kerjanya adalah dengan menekan / menjepit bagian tubuh sapi
tersebut dan Temple pun bertanya mengenai apa yang sedang dilakukan para
gembala sapi tersebut. Merekapun menjelaskan bahwa alat itu dibuat untuk
menenangkan sapi dari rasa stress. Suatu ketika Temple mengalami stress yang
cukup tinggi akibat kamar miliknya “dirasa” bukan miliknya lagi dan tampak ada
yang aneh yang membuatnya takut bukan main. Lalu dia teringat akan alat penurun
stress yang dipakai untuk sapi tadi, diapun langsung berlari dan meminta
bibinya untuk menjepitnya dengan alat itu dan ajaibnya Temple merasa stress-nya
berkurang.
Ibunya
yang datang kepeternakan mengajak Temple untuk kembali bersekolah. Pada tahun
1966 ia masuk ke Universitas disini ia mengalami rasa gugup yang sangat luar
biasa yang membuatnya depresi, hal ini diakibatkan ia belum benar – benar siap
beradaptasi dengan lingkungan asrama itu. Ibunya yang mengetahui hal itu hanya
bisa membiarkannya dengan maksud agar Temple mampu mengatasi proses adaptasinya
tersebut. Lalu Ibunya teringat pada masa kanak – kanak Temple, dimana Temple
kurang bisa fokus dan mudah marah. Sejak usia 4 tahun Temple memang sudah
divonis mengidap autis. Selain tidak fokus dan mudah marah Temple juga
menghindari sentuhan dengan orang lain.
Dokter yang telah memvonis Autisme yang dirasakan Temple menyarankan agar Temple dimasukan ke tempat khusus, namun ibunya tak menghiraukan dan memutuskan membesarkannya dengan cara yang sama dengan anak normal lainnya dan menyewa seorang pelatih bicara untuk Temple.
Di
universitas Temple membuat alat yang serupa dengan alat penenang yang ada di peternakan
bibinya. Ini dia lakukan karena dia masih sering mengalami stress, namun
setelah mengetahui hal tersebut, pihak universitas melarang keberadaan alat itu
karena dianggap sebagai alat pemuas seks. Namun Temple tak tinggal diam, diapun
pergi kerumah bibinya lalu memintanya berbicara pada pihak universitas mengenai
spesifikasi dan kegunaan alat itu dan Temple pun menjelaskan dengan cara ilmiah
kegunaan dan cara kerja alat itu dalam menurunkan stress. Pada akhirnya pihak
universitas-pun mengizinkan penggunaan alat itu dan Temple juga tak ragu untuk
meminta teman – temannya memakai alat itu untuk menunjukan bahwa alat itu juga
bekerja sama baiknya pada orang normal dalam menurunkan stress.
Sebelumnya
Temple baru saja dikeluarkan dari universitas lain karena dia memukul kawannya.
Dari banyak pengajarnya hanya satu orang yang benar – benar memahami potensi
Temple, dia adalah Dr. Carlock yang kemudian memotivasi Temple agar mau
meneruskan kuliahnya. Dan Dr. Carlock juga selalu mengajarkan pada Temple agar
mau menemukan “pintu” baru sebagai bentuk penjelajahannya di dunia yang baru.
Pada akhirnya Temple lulus dari universitas dan bekerja di peternakan. Dia juga
menyanyikan lagu “You’ll never walk alone” untuk menggambarkan bagaimana ia
memotivasi dirinya dan orang lain, bahwa semua orang tak akan pernah sendiri
saat mengarungi hidup ini. Ia berhasil menciptakan sebuah alat yang mirip
dengan alat penenang sapi yang dulu namaun dengan beberapa instrument tambahan.
Dia juga membuat sebuah track untuk sapi – sapi yang bentuknya mirip dengan
pola jalan sapi pada kondisi alamiah seekor sapi. Dia juga berhasil menemukan
cara membunuh sapi ternaknya dengan cara yang lebih halus / manusiawi.
Dalam
sebuah kesempatan Temple diminta berbicara disebuah konvensi autism, dia
menceritakan bagaimana ia mengatasi permasalahannya sebagai seorang autis dan
mencapai pendidikan akademik sebaggaimana layaknya orang normal. Dia juga
menceritakan bagaimana ibunya mereawat dan mendidiknya. Semua orang yang hadir
disana sangat terkesan dengan pengalaman Temple.
- Temple
Grandin
Perjuangannya besarnya ketika menyelesaikan kuliahnya adalah mendesain
sistem peternakan yang lebih baik dan efisien. Temple sangat menyayangi
sapi-sapi ternak. Di peternakan memang ujung-ujungnya sapi akan di bunuh untuk
di konsumsi manusia, tapi ada proses panjang untuk itu, seperti penggiringan
dan perendaman. Di proses itulah Temple merasa peternakan-peternakan yang ada
saat itu tidak memiliki sistem yang bagus dan malah menyiksa sapi. Padahal hal
tersebut berbuntut pada kerugian perusahaan peternakan, tidak jarang ada sapi
yang mati saat proses perendaman dan itu sangat merugikan.
“I think using animals for food is an ethical thing to
do, but we’ve got to do it right. We’ve got to give those animals a decent life
and we’ve got to give them a painless death. We owe the animal respect.”
Temple Grandin
Temple pun berjuang untuk meneliti tentang perilaku sapi, lenguhan sapi dan
mendesain proses perisapan penjagalan yang lebih baik. Tidak jarang dia di ejek
dan di tertawakan akan rencana penelitiannya itu. Apalagi dengan autistiknya,
orang seringkali memandang rendah. Tapi dia berhasil membuktikan dengan membuat
berbagai tulisan ilmiah yang dimuat di berbagai majalah seputar dunia
peternakan. Dengan kemampuan berpikir visualnya dia berhasil mendesain sistem
penggiringan sapi ke penjagalan yang lebih efisien.
Menurut saya Temple Grandin memang seorang penyandang autis yang
gagah. Autis bukanlah penyakit, jadi tidak layak kita menyebut
“penderita”. Di akhir film itu juga diceritakan awal mula Temple menjadi
pembicara tentang autis, dia berada di sebuah konvensi tentang autis bersama
ibunya. Saat itu sang pembicara berbicara tentang penanganan autis. Tiba-tiba
saja Temple dari bangku penonton berdiri dan menyatakan apa yang dia rasakan
tentang autis. Beberapa orang mengira dia orang tua anak autis, padahal
tidak, dia menjelaskan dia adalah penyandang autis yang beruntung mendapat
kesempatan untuk sekolah dan juga kuliah, saat itu dia sudah mendapat gelar
Master of Science-nya. Orang-orang pun kaget dan memintanya untuk berbicara di
depan.
Yang gagah
adalah kalimat-kalimat ini:
“Well, I am not cured, I’ll always be autistic. My
mother refused to believe that I wouldn’t speak. And when I learned to speak,
she made me go to school.”
“I mean, they knew I was different, but not less. You
know, I had a gift. I could see the world in a new way. I could see details
that other people were blind to”.
Film ini benar-benar keren, memberi pelajaran, dan juga menambah
pengetahuanku tentang autis. Ada unsur edukasi yang penting juga di film ini,
seringkali sistem pendidikan kita menyamakan setiap murid, tidak mau mengakui
bahwa setiap orang memiliki cara berbeda dalam belajar.
Claire Danes memainkan peran sebagai Temple Grandin dengan sangat apik di
film ini, pasti susah sekali untuk memerankan dan mendapatkan emosi seorang
penyandang autis.
v KETERKAITAN
FILM TEMPLE GRANDIN DENGAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Kaitan
hal-hal penting dari film dengan teori dalam psikologi kepribadian ; Adler menganggap
bahwa manusia menghasilkan kesenian, ilmu pengetahuan, dan aspek-aspek lain
dari kebudayaan adalah untuk mengimbangi kekurangan mereka sendiri.
Contoh
dalam film. Dibalik kelemahan yg dimiliki oleh temple grandin dia memiliki
kemampuan photographic memory yang luar biasa dan bisa menciptakan hasil karya
yg luar biasa seperti rute jalan sapi menuju tempat pemotongan, merancang cara
penanganan yang baik terhadap hewan ternak, dan masih banyak lagi hasil
karyanya yang berhubungan dengan hewan maupun tidak.
Biografi
Temple Grandin ; Dr Grandin adalah seorang desainer fasilitas penanganan ternak
dan seorang Profesor Ilmu Hewan di Colorado State University. dia telah
merancang cara penanganan yang baik terhadap hewan ternak yang berlokasi di
Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Meksiko, Australia, Selandia Baru dan
negara-negara lain. Di Amerika Utara, hampir setengah dari ternak ditangani
dalam sistem pusat jalur restrainer bahwa hewan ternak tersebut dirancang untuk
binatang pedaging. Melengkung parasut dan ras sistem telah dirancang olehnya
untuk ternak yang digunakan di seluruh dunia dan tulisan-tulisannya di zona
penerbangan dan prinsip-prinsip lainnya perilaku penggembalaan hewan telah
membantu banyak orang untuk mengurangi stres pada hewan ternak mereka selama
masa penanganan.
Dia juga
telah mengembangkan sistem penilaian yang obyektif untuk menilai penanganan
sapi dan babi di pabrik daging. Sistem skoring sedang digunakan oleh banyak
perusahaan besar untuk meningkatkan kesejahteraan hewan. Hal lain dari
penelitian adalah: sapi temperamen, pengayaan lingkungan untuk babi, mengurangi
pemotong gelap dan memar akibat perlakuan yang kasar dari para peternak,
kesuburan banteng, prosedur pelatihan, dan metode menakjubkan efektif untuk sapi
dan babi di pabrik daging.
Dia
memperoleh gelar B.A-nya di Pierce College Frankin dan M.S Ilmu Hewan-nya di
Arizona State University. Dr Grandin meraih gelar Ph.D Animal Science dari
University of Illinois pada tahun 1989. Hari ini ia mengajar kursus pada
perilaku ternak dan desain fasilitas penanganan hewan ternak di Colorado State
University dan berkonsultasi dengan industri peternakan pada desain fasilitas
penanganan ternak, dan kesejahteraan hewan. Dia telah muncul di acara televisi
seperti 20/20, 48 Jam, CNN Larry King Live, PrimeTime Live, Tampilkan Hari ini,
dan show dibanyak negara. Dia telah ditampilkan dalam People Magazine, New York
Times, Forbes, US News and World Report, Time Magazine, New York Times bedah
buku dan majalah Discover. Pada tahun 2010, Time Magazine nama salah satu surat
kabar terkenal menyiarkan hasil Wawancara dengan Dr Grandin di National Public
Radio. Dia juga menulis lebih dari 400 artikel di kedua jurnal ilmiah dan
majalah penanganan hewan ternak, kesejahteraan, dan desain fasilitas. Dia adalah
pengarang dari "Berpikir dalam Gambar", "Penanganan Ternak dan
Transportasi," "Genetika dan Perilaku Hewan Domestik" dan "
Penanganan Ternak Manusia." Buku-bukunya "Hewan in Translation"
dan "Binatang Buat Kami Manusia" keduanya di New York Times terdaftar
sebagai best seller. "Binatang Buat Kami Manusia" juga terdaftar
sebagai penjualan terbaik di Kanada. Kisah hidup nya juga telah dibuat menjadi
sebuah film HBO berjudul "Temple Grandin". Film ini menunjukkan
hidupnya sebagai remaja dan bagaimana dia memulai karirnya.
Kaitan
adegan dalam film dengan Teori Belajar Sosial-nya ; Theory Social Learning oleh
Bandura menekankan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara
respon-respon tertentu pada diri seseorang. Asumsi dasar dari teori ini yaitu
sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasil belajar melalui
pengamatan atas tingkah laku yang ditampilkan oleh individu – individu lain
yang menjadi model.
Bandura
menyatakan bahwa orang belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa
adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang diterima. Kita bisa meniru
beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat
yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Contoh
dalam film = Temple Grandin meniru cara perternak menenangkan sapi dengan cara
memberi tekanan di kedua sisi samping tubuh sapi. Kemudian Grandin menggunakan
cara itu untuk diterapkan pada dirinya sendiri disaat dia tengah merasa panik.
Temple
Grandin: "Mereka akan sangat tenang, Alam itu kejam tapi kita tidak perlu
takut padanya. Tetapi pada saat itu, individu itu tenang dan. kemudian pergi.
saya menyadari betapa berharganya kehidupan ini ."
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Temple
Grandin adalah sebuah film yang menceritakan kehidupan seorang anak
penyandang autis. Temple Grandin adalah tentang secercah harapan
dalam hidup. Ia lahir di dalam sebuah dunia yang tak selalu memahami apa yang
terjadi padanya. Bahkan oleh para ahli medis di zamannya, di tahun 1940 dan
1950-an, autisme masih dianggap sebagai gangguan mental dan pasiennya dirawat
di rumah sakit jika.
Yang
cukup bikin air mata berurai adalah ketika sang ibu, Eustacia, yang merupakan
orangtua tunggal lulusan Universitas Harvard, tidak mau menelan mentah-mentah
diagnosis itu.
Eustacia
memutuskan untuk merawat dan membesarkan Temple seperti anak-anak lainnya,
tentu saja dengan kepekaan yang sungguh luar biasa, yang dibutuhkan oleh
Temple.
Di
film ini diperlihatkan bagaimana seorang Temple memiliki kemampuan untuk
mengukur ruang dan memotret secara visual dalam kepalanya dengan tepat dan
rinci. Sampai pada akhirnya, seorang dosen memberikan sebuah tugas di bidang
ilmu fisika yang ternyata dapat dipecahkan sendiri oleh Temple.
Dari kehidupan seorang Temple Grandin, kita
tentu dapat menyimpulkan bahwa kekurangan yang dimiliki seseorang tidak
semata-mata menjadi hal yang menghambat ia untuk dapat menjalani hidupnya.
Temple Grandin di satu sisi merupakan orang yang sukses di bidangnya, namun ia
sendiri menyadari bahwa di sisi lain ia memiliki banyak keterbatasan karena autisme
yang dimilikinya. Pun demikian, ia memilih untuk terus berkarya. Seperti yang
tertulis dalam tagline film Temple Grandin, “What made her different, makes her
exceptional” – Yang
menjadikannya berbeda, menjadikannya luar biasa.
|
|